Oleh: Eddi Koben
Matahari sedang hangat-hangatnya membelai air sungai. Para operator perahu motor mulai memanaskan mesinnya.
Menyeberangkan penumpang ke kampung di tepi sungai adalah rutinitas yang menjadi tumpuan hidupnya. Barisan pemancing masih setia menunggui kailnya disantap ikan. Mereka rela bermalam di gubuk-gubuk rakit yang berderet di sepanjang pinggiran sungai.
Uang sewa gubuk pemancingan yang hanya Rp10.000 per orang sungguh tidak berarti bagi para maniak mancing. Harga itu terbayar lunas dengan kepuasan memancing semalam suntuk. Inilah hobi yang tidak semua orang mampu menikmatinya.
Saya tertarik untuk sekadar berjalan-jalan keluar dari posko sekadar menikmati aktivitas pagi di bantaran sungai. Saya hampiri seorang pemancing yang tengah berjongkok di sebelah batu berukuran sebesar gajah. Saya mulai menyapa dan bertanya basa-basi seputar dunia mancing dan ikan.
Darinya saya dapat informasi seperti jenis ikan yang didapat, waktu yang bagus buat memancing, dan sebagainya.
Ikan yang didapat oleh para pemancing di pinggir sungai umumnya kecil-kecil, hanya sebesar dua atau tiga jari tangan orang dewasa.
Rata-rata yang didapat adalah ikan berjenis nila dan oskar. Sementara jika memancing hingga ke tengah, terutama di pinggiran tambak, ikan yang didapat berukuran lebih besar, sebesar telapak tangan orang dewasa.
Saya tertarik untuk mencoba memancing. Maka, saya meminjam satu alat pancing kepada orang yang saya ajak ngobrol itu. Awalnya agak membosankan karena hampir setengah jam tak ada ikan yang menyentuh kail saya.
Namun, ketika kail saya pindahkan ke area yang lebih dangkal, tak harus menunggu waktu begitu lama. Sekitar satu menit, kail saya sudah berhasil menipu ikan.
Seekor nila kecil sebesar dua jari tangan orang dewasa berhasil membuat wajah saya memancarkan kegembiraan.
Selanjutnya, kail saya lempar lagi ke area yang sama. Dapat lagi nila dengan ukuran yang tak jauh berbeda. Ini membuat saya semakin asyik dan bersemangat untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak.
Sekitar dua puluh ekor ikan kecil-kecil berhasil saya dapatkan dan menjadi sumbangan yang cukup lumayan bagi pemancing kenalan saya itu.
Ternyata tak hanya saya yang tertarik memancing. Sekelompok siswa peserta Live in ingin juga merasakan bagaimana nikmatnya memancing. Ditemani induk semangnya, mereka memancing di area tempat saya berada.
Beberapa peserta mengaku ini adalah pengalaman memancing mereka yang pertama. Mereka tampak kegirangan begitu mengetahui bahwa memancing di pinggir sungai itu begitu mudah.
Anak-anak berkebutuhan khusus tampak lompat-lompat kegirangan begitu ia berhasil mendapatkan ikan.
Aktivitas memancing saya akhiri begitu mendengar kabar bahwa salah seorang peserta mengalami insiden digigit kelabang ketika sedang bekerja di kebun induk semangnya. Beruntung dia cepat ditangani oleh seorang penduduk yang memberikan pertolongan pertama bagi yang terkena gigitan hewan melata seperti ular, kelabang, dan lain-lain. Racun pada luka gigitan sudah berhasil dikeluarkan.
Si peserta keadaannya sudah membaik setelah menjalani perawatan di posko kesehatan.
Saya kembali ke posko untuk beristirahat. Tak lama, muncul Abah Rian dengan kondisi kaki belepotan penuh lumpur. Rupanya ia baru pulang dari sawah menemani para peserta yang bekerja di sawah bersama induk semangnya.
Abah Rian bercerita bagaimana kegembiraan anak-anak bekerja di sawah. Ia pun turut merasakan kegembiraan itu dengan ikut terlibat bekerja di sawah. Dan, yang membuatnya lebih bahagia adalah ia bisa terapi kakinya yang mengalami masalah beberapa waktu lalu.
Dengan berjalan di lumpur sawah, ia merasakan kakinya seperti sedang dipijat refleksi. Begitu keluar dari kubangan lumpur, kakinya terasa ringan. Itu barangkali yang menyebabkan para pekerja penggarap sawah selalu tampak bugar karena bekerja sekaligus sambil pijat refleksi.
Sore harinya, dibawah guyuran hujan, para guru laki-laki dan siswa laki-laki berbaur bersama bermain bola dengan warga kampung di lapangan sepakbola yang cukup eksotik.
Letak keeksotikan lapangan sepakbola itu menurut Abah Rian adalah pemandangan di sekitarnya.
Di sebelah utara berdiri megah gunung parang, sementara di selatan terhampar aliran sungai dengan deretan tambak-tambak ikan.
Itulah secuil kebahagian yang tidak hanya didapat oleh anak-anak peserta Live in, tetapi juga oleh guru-guru pembimbingnya.
Oh iya, tulisan ini harus segera diakhiri karena saya ada janji dengan salah seorang induk semang pergi ke tambak bersama beberapa anak menabur pakan ikan.
Ini tawaran yang menarik dan tak mungkin saya tolak begitu saja.
Kiara Lawang, 06 Oktober 2016 Pukul 05.47 WIB.